JAKARTA | Tanggal 23 November 2024 menandai 24 tahun sejak disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti bahwa kehadiran UU Pengadilan HAM, pada kenyataannya, masih belum mampu memberikan keadilan substantif dan kepuasan bagi korban pelanggaran berat HAM.
Hal ini disebabkan oleh berbagai kelemahan dari substansi peraturan yang terkandung dalam UU Pengadilan HAM. Akhirnya, UU ini tidak menjadi struktur tata kelola yang kuat dalam mengatur dan memastikan penunaian tanggung jawab negara dalam menuntaskan pelanggaran berat HAM.
“Kami menilai bahwa UU Pengadilan HAM dengan sengaja dirancang untuk gagal memberikan keadilan dan menghancurkan dinding impunitas,” tulis KontraS dalam siaran persnya.
KontraS mengidentifikasi dua bentuk kekurangan dalam UU Pengadilan HAM, pertama yaitu pertanggungjawaban pidana yang tidak menyeluruh dan lemahnya mekanisme hukum acara yang seharusnya mempertimbangkan sifat pelanggaran berat HAM sebagai kejahatan luar biasa.
Adapun identifikasi kekurangan tersebut dianalisis dalam kaitannya dengan impunitas terhadap pelaku pelanggaran berat HAM. Kemudian, Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM (Insersium) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mengidentifikasi tujuh kelemahan substansial UU Pengadilan HAM secara keseluruhan.
Yang kedua, Ketujuh kelemahan tersebut adalah permasalahan yurisdiksi, keterbatasan hukum acara, perlindungan saksi dan korban, partisipasi korban dan hak atas reparasi, sanksi pidana, ketiadaan pasal mengenai pengecualian asas ne bis in idem, dan pasal yang menjadikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai substitusi alih-alih komplementer dari Pengadilan HAM.
Secara historis, UU ini lahir dari upaya Indonesia untuk menghindari peradilan internasional atas kejahatan yang terjadi di Timor Timur pada 1999, tepatnya pada periode sebelum dan setelah Referendum.
Dalam perspektif yang lebih luas, UU Pengadilan HAM memiliki signifikansi dalam momentum Reformasi 1998 yang menjadi tombak proses demokratisasi dan keadilan transisi di Indonesia, setelah 32 tahun berada di bawah kepemimpinan pemerintahan otoriter Orde Baru.
Kehadiran UU tersebut menandakan bahwa, secara infrastruktur, Indonesia memiliki modalitas dalam menuntaskan kejahatan-kejahatan berat terhadap HAM.
Akan tetapi, hanya empat kasus pelanggaran berat HAM yang kini telah disidangkan dalam Pengadilan HAM dan seluruh terdakwa, pada akhirnya, dinyatakan tidak bersalah oleh Majelis Hakim, baik dalam tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Keempat kasus tersebut adalah Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014.
Selain itu, praktik pengadilan dari keempat kasus tersebut juga sudah bermasalah sejak dalam prosesnya. Unsur-unsur dalam dakwaan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sangatlah lemah. Pun tidak semua individu yang bertanggung jawab secara prinsip pertanggungjawaban komando ditetapkan sebagai terdakwa, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM.
Tidak hanya itu, hingga kini, masih ada 13 kasus pelanggaran berat HAM lainnya yang tersandera dalam proses hukumnya. Hal ini akibat dari perbedaan tafsir antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) selaku penyelidik dan Jaksa Agung selaku penyidik.
Perbedaan tafsir ini berupa lingkup kewenangan penyelidik dan penyidik, persyaratan administratif, pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus yang berlaku secara retroaktif, sudah diadilinya pelaku dalam peradilan militer (ne bis in idem), dan keputusan politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Fakta bahwa bisa terjadinya perbedaan tafsir tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang tercantum dalam UU Pengadilan HAM tidaklah menyeluruh dan masih memiliki berbagai celah. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 75/PUU-XIII/2015 sejatinya telah menyarankan DPR, sebagai lembaga legislatif, untuk mencari jalan keluar atas perbedaan tafsir tersebut.
Meski demikian, fakta menunjukkan sebaliknya. Sembilan tahun setelah putusan tersebut dikeluarkan, baik DPR maupun Presiden tidak pernah mengupayakan perbaikan apapun.
Kelemahan substansi dari UU Pengadilan HAM kian diperparah oleh kultur dan inkompetensi aparat penegak hukum yang tidak memahami pelanggaran berat HAM sebagai kejahatan luar biasa serta ketidakmauan politik dari negara untuk mengadili pelaku.
Pada akhirnya, impunitas terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM pun terus bertahan dan senantiasa menguat, meskipun 26 tahun telah berlalu pasca Reformasi. Dari kondisi ini, tidak mengherankan kekerasan dan represi oleh aparat keamanan masih terus terjadi hingga hari ini.
Sebab, para aparat yang menjadi pelaku dalam berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM tidak pernah dihukum atas perbuatannya sehingga menormalisasi kekerasan terhadap warga sipil.
Oleh karena itu, KontraS mendesak:
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung untuk meningkatkan koordinasinya dalam penyelidikan dan penyidikan, serta turut menindaklanjuti berbagai temuan dugaan barang bukti oleh masyarakat sipil.
2. Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengambil langkah nyata demi menguatkan eksistensi dan fungsi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia agar tidak memberikan celah bagi impunitas dan dapat menjadi sebuah mekanisme dalam mencegah keberulangan kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia. (*)