Jakarta, Euforia.id | Krisis iklim telah menjadi ancaman nyata yang dirasakan masyarakat adat di Papua, mulai dari suhu yang makin panas, cuaca ekstrem, hingga tergerusnya tanah adat.
Menanggapi situasi ini, orang muda Papua menolak untuk bungkam. Mereka hadir membawa desakan keras kepada pemerintah Indonesia di forum global.
Gispa Ferdinanda, Research Manager Sa Perempuan Papua, menjadi salah satu perwakilan kunci dari Timur Indonesia dalam Local Conference of Children and Youth Indonesia (LCOY) 2025 di Jakarta.
Forum yang diikuti ratusan anak dan pemuda dari seluruh Indonesia pada Agustus lalu ini menghasilkan National Children and Youth Statement 2025, sebuah deklarasi yang memuat lima tuntutan strategis kepada pemerintah.
Bagi Gispa, kehadirannya di forum nasional ini membawa amanat yang jelas —menyuarakan masyarakat adat, perempuan Papua, dan komunitas lokal yang merupakan garda depan pelindung hutan dan laut.
”Kita harus mau jemput bola melibatkan diri dalam kegiatan berbau iklim. Sebab, kenyataannya, keterlibatan orang muda selama ini hanya sebentuk tokenism, hanya datang, duduk, dan lihat. Tidak mendapatkan yang lebih,” tegas Gispa.
Tuntutan Generasi Muda Menuju COP30 Brasil
LCOY 2025 yang digelar oleh Climate Rangers (CR) ini menyadari bahwa kualitas bumi yang ditinggali generasi muda hari ini sudah jauh berbeda.
”Kita hidup di bumi yang panasnya sudah naik lebih dari satu derajat Celcius. Kita punya tanggung jawab mencegah kenaikan itu terulang, agar generasi berikutnya tidak menghirup udara kotor akibat pembangunan yang ekspansif dan eksploitatif,” kata Ginanjar Ariyasuta, Koordinator Climate Rangers.
Deklarasi yang dihasilkan LCOY ini menjadi mandat resmi orang muda Indonesia yang akan dibawa ke forum COP30 di Brasil November 2025, sekaligus sebagai panduan kebijakan nasional:
1. Dengarkan Suara Kami, Bukan Sekadar Simbol: Menuntut partisipasi bermakna, di mana suara orang muda didengar sejak tahap perencanaan hingga evaluasi kebijakan, menolak hanya dijadikan simbol dekoratif.
2. Ciptakan Kebijakan Berkeadilan Iklim: Kebijakan iklim harus memprioritaskan dan melindungi kelompok paling rentan—masyarakat adat, nelayan, dan penyandang disabilitas—agar tidak menanggung beban pembangunan.
3. Segera Pindah ke Energi Bersih: Stop pembangunan PLTU baru dan percepat investasi energi terbarukan, terutama memanfaatkan potensi besar PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Papua.
4. Hentikan Pendanaan Proyek Kotor: Alihkan dana miliaran dolar dari batu bara ke investasi energi bersih berbasis komunitas, seperti PLTS dan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro), untuk mewujudkan kemandirian energi rakyat.
5. Berikan Ruang Bagi Solusi Anak Muda: Dirikan Youth Climate Council untuk menyediakan akses kelembagaan dan anggaran resmi bagi anak muda untuk menjalankan solusi nyata dari komunitas mereka.
PLTS: Solusi Kemandirian Finansial Papua
Papua, dengan sinar matahari yang melimpah, memiliki modal besar untuk transisi energi bersih. Namun, potensi ini sering terabaikan.
Menurut Gispa, kemandirian energi rumah tangga melalui PLTS akan sangat membantu masyarakat prasejahtera dan mengurangi ketergantungan pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
”Ketika membayar listrik saja tidak mampu, PLTS akan sangat memudahkan mereka dari segi finansial. Itulah kenapa kami mendorong pemerintah memberi bantuan berupa pembangkit listrik dan generatornya,” kata Gispa.
Selain manfaat ekonomi, transisi ini juga menjadi materi edukasi yang membuka wawasan orang muda dan membangun jaringan kerja sama di isu energi terbarukan.
Senada dengan Gispa, Ginanjar melihat perlunya jalur kelembagaan bagi generasi muda untuk menyalurkan kreativitas solusi mereka.
“Kita perlu kelembagaan iklim, seperti Youth Climate Council. Di sana orang muda diberi anggaran 10% untuk menentukan proyeknya. Jalurnya harus ada terlebih dahulu,” ujarnya.