Jayapura, Euforia.id | Masih pagi-pagi, sekira pukul 09.15 Waktu Indonesia Timur (WIT), petani pinang di Kampung Skouw Sae, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua mulai sibuk memanen buah pinang di atas lahan seluas 3 hektare.
Ada 8 petani pinang sedang berbagi tugas, ada yang bertugas membawa galah buah, ada memungut buah, memikul, dan memilih buah yang siap dijual.
Senyum kerap terpancar dari para petani itu. Seolah menceritakan hasil panen yang memuaskan. Tak ada keluh, para petani terlihat begitu semangat dalam menjalankan tugas masing-masing.
Proses memetik buah pinang mereka selesaikan sekira pukul 14.00 WIT. Buah kemudian dikumpulkan menjadi satu tempat kemudian dilanjutkan dengan memilah buah terbaik.
Dari 5 hektar, terkumpul 12 karung pinang. Dimana setiap karung memiliki berat 50 kg. Satu kg dihargai dengan 35 ribu. Artinya sekali panen bisa mendatangkan keuntungan hingga 21 juta. Panen dilakukan 3 kali dalam satu bulan.
Petani pinang, Lakuhe mengaku produktivitas pohon pinang mereka berkat sentuhan Pupuk Indonesia. Meski berada di ujung timur Indonesia, mereka juga merasakan dampak dari pupuk subsidi lewat kelompok tani.
Lakuhe mengaku ia rutin memberikan pupuk terhadap tanamannya untuk menghasilkan buah yang lebat dan berkualitas.
“Saya pupuk setiap bulan, kalau tidak dipupuk buahnya kecil dan tidak banyak. Beda kalau torang pupuk hasilnya sangat banyak. Kita juga terbantu dengan adanya pupuk subsidi,” ungkap Lakuhe, Selasa (30/12).
Lakuhe merupakan salah satu dari ratusan petani pinang di Kota Jayapura. Kota Jayapura merupakan daerah yang memiliki pohon pinang terbanyak di Tanah Papua. Tak heran jika Kota Jayapura juga dijuluki sebagai Kota Seribu Pinang.
Bagi masyarakat di luar Papua, buah pinang mungkin hanya dianggap sebagai komoditas perkebunan biasa atau bahan obat tradisional. Namun, di tanah Papua, pinang adalah napas kehidupan.
Pinang adalah simbol persaudaraan, mata uang sosial, sekaligus identitas yang melekat erat dalam keseharian masyarakatnya, dari pesisir hingga pegunungan tengah.
Dalam berbagai urusan diplomasi adat, pinang sering kali menjadi “pelicin” sebelum pembicaraan serius dimulai.
Bagi warga lokal, mengunyah pinang memberikan efek penyegaran tubuh, meningkatkan fokus, dan dipercaya secara turun-temurun dapat memperkuat gigi.
Secara ekonomi, pinang adalah penyelamat dapur bagi ribuan keluarga. Di sepanjang trotoar kota hingga pasar-pasar tradisional, di Kota Jayapura, pemandangan “Mama-Mama” (sebutan hormat untuk perempuan Papua) yang duduk di balik tumpukan pinang adalah pemandangan yang ikonik.
Dagangan ini digelar di atas meja kayu kecil yang disebut para-para pinang. Penjualan pinang sering kali menjadi sumber pendapatan utama untuk membiayai kebutuhan sekolah anak-anak hingga kebutuhan adat.
Pinang adalah komoditas yang tidak pernah mati. permintaannya selalu ada setiap hari, dari pagi hingga larut malam.
Pinang bagi orang Papua bukan sekadar buah, melainkan identitas kolektif. Ia adalah perekat sosial yang melintasi batas suku dan status. Selama warna merah masih menghiasi bibir masyarakatnya, maka semangat kebersamaan dan kekeluargaan di tanah Papua akan terus terjaga.
























