Jayapura, Euforia.id | Selama bertahun-tahun, kehidupan di Kampung Skouw dan Kampung Mosso, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, terpangkas oleh batas waktu yang kaku. Skouw Yambe, Skouw Mabo, Skouw Sae, dan Mosso adalah kampung terakhir Indonesia di beranda timur, berbatasan langsung dengan Papua Nugini (PNG).
Sebelum Pos Lintas Batas Negara (PLBN) berdiri megah di sana, masyarakat setempat harus merangkai kehidupan mereka dalam keterbatasan pasokan listrik yang hanya mengalir enam jam sehari.
Skouw dan Mosso merupakan wilayah terluar dan terdepan di ujung timur Indonesia. Listrik di kawasan beranda depan negara ini, 10 tahun yang lalu hanya menyala dari senja hingga tengah malam.
Aliran listrik PLN 24 jam penuh di Kampung Skouw dan Mosso baru dirasakan sejak 2015 silam, kini dampaknya telah mengubah kehidupan di perbatasan Indonesia – Papua Nugini itu.
Hidup dalam Batasan Waktu
Sebelum jaringan permanen PLN masuk, hidup di Skouw dan Mosso adalah perjuangan melawan keterbatasan. Malam hari menjadi musuh utama bagi anak-anak sekolah yang terpaksa merampungkan pekerjaan rumah mereka sebelum listrik padam total. Dulu, listrik hanya mengalir dari jam 6 sore hingga 12 malam.
Mereka yang harus belajar lebih lama, hanya ditemani cahaya minim dari lampu pelita atau lampu cas, yang membuat mata lelah. Di sekolah, pembelajaran yang menggunakan sistem digitalisasi seperti komputer dan internet menjadi barang yang mahal.
Kondisi ini bahkan lebih genting di sektor kesehatan. Fasilitas seperti puskesmas atau puskesmas pembantu (Pustu) selalu was-was. Beberapa jenis obat-obatan dan vaksin membutuhkan pendingin yang stabil.
Pelayanan kesehatan malam hari sangat terbatas, apalagi jika terjadi kasus darurat, di mana pemeriksaan pasien seringkali harus dibantu oleh penerangan seadanya, bahkan terpaksa harus dirujuk ke Kota untuk mendapatkan pelayanan yang memadai.
Roda ekonomi pun berjalan lambat. Para pelaku usaha kecil, mulai dari warung hingga usaha yang bergantung pada pasokan listrik, terpaksa beroperasi dalam waktu yang terbatas. Usaha lebih banyak buka setengah hari.
Lakuhe, seorang petani yang telah tinggal di Kampung Skouw sejak 1989, mengenang masa-masa awal listrik masuk sekitar tahun 1995 atau 1996, yang saat itu masih mengandalkan genset untuk penerangan warga. Aliran listrik yang hanya enam jam kala itu tetap disyukuri, meskipun sangat terbatas dayanya. Berkat hadirnya listrik ketika itu, keluarga Lakuhe mulai mengenal dunia luar lewat televisi walaupun hanya bisa dinyalakan pada malam hari.
“Saya ingat waktu itu listrik masih terbatas sekali. Karena masih menggunakan sebuah genset yang menjadi sumber listrik bagi warga. Begitu masuk listrik itu, saya langsung beli televisi untuk anak-anak nonton. Karena semua orang waktu itu langsung beli televisi karena sudah ada listrik,” kata Lakuhe yang merupakan perantau dari Muna, Sulawesi Tenggara, kepada euforia.id, Senin (20/10/2025).
Namun, sistem genset itu menuntut biaya bahan bakar yang harus ditanggung per kepala keluarga. Warga yang terlambat membayar, berarti harus siap-siap gelap.
“Waktu itu kan masih dikenakan biaya per bulannya. Sebenarnya cukup ringan. Kalau tidak salah ingat, Rp500 ribu per bulan satu kepala keluarga waktu itu, karena untuk beli bahan bakar,” ungkap Lakuhe.
Kepala Tata Usaha (KTU) Puskesmas Skouw, Juni Sampe juga menceritakan, pelayanan di Puskesmas sebelum tahun 2015 sangat terbatas, hanya mengandalkan genset yang membutuhkan bahan bakar.
“Memang sebelum 2015 waktu itu listrik belum 24 jam. Jadi, pelayanan sangat terbatas. Waktu itu kalau tidak salah ada genset. Tapi ya namanya kita waktu itu serba kekurangan kan, harus pakai bensin lagi seperti itu,” kenang Juni Sampe ketika diwawancarai euforia.id.
Situasi serupa juga pernah menyelimuti Kampung Mosso. Kampung yang hanya selemparan batu dengan negara Papua Nugini. Kampung ini sering dilintasi oleh warga negara tetangga karena letaknya sangat terluar. Ketika matahari tenggelam, kegiatan warga seolah terhenti. Malam menjadi waktu untuk tidur, bukan untuk beraktivitas.
Stevanus Mandowen, Kepala Sekolah SD Negeri Kampung Mosso yang telah mengajar di sana sejak 2009, ketika ditemui euforia.id menceritakan dengan jelas masa-masa itu. Meski ada aliran listrik enam jam, namun tidak semua rumah warga diterangi oleh lampu karena sumber listrik ketika itu masih menggunakan genset yang harus bermodalkan biaya mahal untuk bahan bakar.
“Dulu itu, jam 6 atau jam 7 malam, semua orang sudah masuk rumah, sudah tidur. Tidak semuanya terang dengan lampu. Kebiasaan ini membuat anak-anak Mosso kehilangan waktu belajar di malam hari. Sangat bergantung pada generator yang membutuhkan biaya mahal, kemajuan pendidikan sangat lambat. Susah sekali,” kenang Stevanus.
Anak-anak Kampung Mosso dengan keunikannya yang menguasai tiga bahasa (bahasa ibu, bahasa Fiji, dan bahasa Indonesia) juga hidup jauh dari informasi luar sebelum listrik benar-benar masuk total.
“Sebelum listrik masuk 24 jam itu, semuanya serba terbatas. Mereka belum tahu dunia luar. Belum kenal perkembangan zaman, karena belum ada handphone dan internet,” ujar Stevanus.
Yusak Aronggear, kader kesehatan di Pustu Mosso juga bercerita yang sama. Ia bersama mendiang istrinya yang merupakan Kepala Pustu hanya melayani dalam waktu yang terbatas ketika listrik belum sepenuhnya menerangi Kampung Mosso. Namun, kondisi itu tak memutus pelayanan mereka, meski hanya bermodal cahaya dari lampu minyak.
“Dulu, listrik belum masuk itu pelayanan di Pustu Mosso ini memang terbatas. Tapi kalau ada kondisi darurat, mau gelap, mau hujan kita tetap layani. Yah kita rasakan sangat sulit waktu listrik belum 24 jam, tidak bisa dibayangkan,” kata Yusak.
Maciu, warga Mosso juga masih mengingat dengan jelas bagaimana kondisi di sana ketika belum diterangi oleh listrik 24 jam. Ia hanya bergantung pada lampu pelita yang dinyalakan dengan bahan bakar minyak tanah untuk menerangi rumahnya.
“Ada listrik kalau pakai genset, tapi terbatas sekali. Dulu, di rumah-rumah masih pakai lampu pelita supaya terang, harus persediaan minyak tanah untuk kasih nyala,” katanya.
Habis Gelap Terbitlah Terang
“Habis gelap terbitlah terang“, kalimat yang lahir dari pemikiran tokoh bangsa, Ibu Kartini, terpampang dengan jelas di dinding ruang kelas SD Negeri Mosso. Kalimat penuh makna dan harapan itu seolah menggambarkan bagaimana listrik telah memberikan terang di Kampung Mosso dan menjadi pelita harapan bagi anak-anak setempat.

“Habis gelap terbitlah terang” terpampang di dinding salah satu kelas SD Negeri Mosso, Perbatasan Indonesia – Papua Nugini / Euforia.id
Sejak listrik 24 jam menyala pada tahun 2015, wajah pembelajaran di sekolah dasar yang hanya memiliki total 98 murid itu perlahan berubah. Guru dan murid mulai mengenal teknologi.
“Sekarang semenjak ada listrik, guru-guru sudah bisa memanfaatkan listrik itu untuk membantu pembelajaran. Sudah ada proyektor, sudah ada laptop, hingga pengeras suara,” kata Stevanus Mandowen.
Listrik yang mengalir 24 jam juga membantu guru-guru di sana untuk mengakses fingerprint sebagai alat untuk absensi kehadiran. Para murid juga mulai mengenal informasi lewat televisi.
Listrik sudah membuka gerbang menuju dunia. Kini, pekerjaan rumah terbesarnya adalah mengarahkan anak-anak agar cahaya yang datang itu benar-benar menjadi penerang pikiran untuk mengejar ketertinggalan pendidikan, bukan hanya hiburan yang membuat mereka lupa waktu.
“Sudah ada kemajuan sejak listrik itu sudah 24 jam. Namun memang kendalanya di literasi, anak-anak kami ini, kalau jam malam mereka fokus nonton televisi,” ujarnya.
Perubahan serupa juga dirasakan oleh Yusak Aronggear, kader kesehatan Pustu Kampung Mosso, yang sudah berada di sana sejak 2007. Ia mengaku, dengan hadirnya listrik yang memadai, pelayanan kesehatan bisa dilakukan kapan saja, termasuk saat malam hari atau kondisi mendesak, mengingat jarak ke fasilitas kesehatan yang lebih besar cukup jauh.
“Perbedaan sangat terlihat sekali dari listrik yang belum ada sampai sekarang sudah ada. Artinya, bahwa pelayanan ini sudah bisa dilakukan waktu malam hari juga,” kata Yusak.
Yusak berharap, Pustu bisa terus memberikan pelayanan optimal, terutama untuk membantu ibu melahirkan di malam hari agar tidak perlu dirujuk jauh jika kondisi tidak terlalu darurat.
Bagi Maciu, hadirnya listrik total sejak 10 tahun lalu banyak menghadirkan manfaat. Rumah yang ia tempati kini bercahaya dengan lampu-lampu yang terang, membantu anak-anaknya belajar tanpa khawatir mata lelah. Siaran televisi juga bisa mereka nikmati tanpa harus was-was dengan keterbatasan listrik seperti dulu.
“Sekarang listrik sudah bagus, sudah 24 jam. Sangat membantu dan bermanfaat bagi kami,” ujarnya.
Di Puskesmas Skouw, ketersediaan listrik yang stabil membantu operasional fasilitas yang menggunakan perangkat elektronik. Kepala Tata Usaha (KTU) Puskesmas Skouw, Juni Sampe mengatakan, alat-alat untuk pemeriksaan laboratorium kini dapat dioperasikan secara maksimal, dan penggunaan alat tensi darah yang membutuhkan daya listrik meminimalkan ketergantungan pada baterai.
“Sangat berdampak positif sekali karena kami bisa melakukan pelayanan yang menggunakan listrik seperti itu,” ujar Juni Sampe.
Puskesmas Skouw kini berwajah modern. Bangunannya baru direnovasi dan terdapat fasilitas yang tak jauh berbeda dengan Puskesmas di Kota. Para petugas kesehatan di sana kini tak lagi jauh-jauh pulang pergi ke kota untuk mengurus administrasi yang diakses lewat komputer.
”Iya jelas sekali manfaatnya. Apalagi sekarang kita di kesehatan itu harus mengurus administrasi dan menginput pakai komputer. Pelayanan jadi lebih maksimal, walaupun masih kurang petugas medis,” katanya.
Di luar pendidikan dan kesehatan, sektor ekonomi juga mulai bergairah. Listrik 24 jam menjadi modal dasar bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup. Kios-kios kelontong tumbuh subur, pedagang kecil berani menambah jenis usaha yang membutuhkan listrik, seperti jualan es batu, minuman dingin, atau membuka tempat pengisian daya ponsel.
Alfons, warga yang sudah menetap di Skouw sejak 1991 kini punya toko yang lengkap. Ia menjual aneka kebutuhan pokok. Padahal dulu sebelum punya toko, dia tak berani berjualan karena terbatasnya pasokan listrik.
“Dulu saya di sini cuma bertani. Waktu belum ada listrik yang memadai tahun-tahun 90-an itu di sini jarang dapat kios yang lengkap karena yah itu tidak ada listrik. Tapi setelah listrik 24 jam masuk dan banyak orang yang ke PLBN Skouw, saya coba berani buka toko sampai malam sudah tidak khawatir lagi,” kata Alfons.
Manajer Komunikasi dan Humas PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Papua dan Papua Barat, Irfan, menjelaskan listrik 24 jam mulai masuk di wilayah perbatasan Indonesia – PNG sejak 29 Agustus 2015. Jauh sebelumnya, listrik dialirkan oleh pembangkit diesel PLN Lisdes Skouw secara bertahap dalam kurun waktu beberapa tahun.
“Listrik menyala 24 jam penuh di kampung Skouw sampai dengan PLBN tanggal 29 Agustus 2015. Sebelumnya, terdapat pembangkit diesel pada PLN Lisdes Skouw di bawah PLN Rayon Abepura yang melayani listrik secara bertahap, mulai dari 6 jam, 12 jam sampai dengan pelayanan 24 jam penuh di bulan agustus 2015,” kata Irfan kepada Euforia.id.
Listrik Mengalir ke Negeri Tetangga
Menariknya, dampak dari stabilitas daya ini tidak berhenti di batas Indonesia. Sejak 2024, Indonesia melalui PLN mulai menyuplai listrik ke wilayah perbatasan Papua Nugini, khususnya di Desa Wutung, yang letaknya persis di seberang PLBN Skouw.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo lewat siaran pers PLN menjelaskan saat ini PLN sendiri memiliki daya mampu terpasang listrik di wilayah Papua yang mencukupi. Memakai jaringan transmisi dan distribusi di wilayah Skouw, Jayapura, PLN akan memasok kebutuhan listrik tambahan di dua desa perbatasan tersebut.
“Kita sudah cek, total suplai di wilayah perbatasan sebesar 6 Megawatt (MW) sedangkan demand di Skouw sebesar 1 MW, jadi masih ada ketersediaan pasokan listrik sebesar 5 MW untuk dialiri ke Papua Nugini,” kata Darmawan.
Secara keseluruhan sistem Jayapura memiliki Daya Mampu 136,6 MW. Saat ini tercatat, beban puncak Jayapura mencapai 94,6 MW, dengan cadangan daya atau reserve margin sebesar 42 MW atau 44,39 persen. Dengan peluang cadangan listrik ini, secara jangka panjang PLN mampu melistriki wilayah lain di Papua Nugini sesuai dengan kebutuhan.
Wutung yang sebelumnya minim listrik kini juga merasakan cahaya dari sistem kelistrikan Jayapura dengan suplai daya hingga 400 KVA bersumber dari Unit Gardu Bergerak di PLBN Skouw.

Petugas PLN sedang mengawasi gardu pada iven Border Trade Fair di batas negara Indonesia – Papua Nugini / Euforia.id
Riko, operator gardu menjelaskan pasokan listrik sudah tersuplai ke sejumlah rumah warga di Desa Wutung, Papua Nugini. Dia bersama dua rekannya bertugas mengawasi dan memastikan suplai listrik dari gardu tersalurkan ke negara tetangga setiap harinya.
“Sudah mengalir ke sebelah (negara PNG). Kita pakai gardu ini untuk mengalirkan listrik ke sebelah,” kata Riko.
Pada pelaksanaan Border Trade Fair Indonesia – PNG di tapal batas, 9 – 11 Oktober lalu, listrik dari gardu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengaliri listrik ke beberapa tenant UMKM dari dua negara.
“Iya ini lagi sementara dipakai juga untuk menyuplai listrik mendukung iven border trade fair ini. Kita awasi terus dan pastikan semuanya lancar dan aman,” ujarnya.
Deputi Perdana Menteri Papua Nugini, John Rosso menjelaskan hubungan diplomatis antara Indonesia dan Papua Nugini telah terjalin erat lama. Kerjasama ini menjadi salah satu penguat hubungan diplomatis kedua negara dan juga untuk kepentingan rakyat.
Ia juga menjelaskan salah satu tantangan Papua Nugini saat ini adalah pasokan listrik. Tak hanya pasokan saja, namun harga listrik yang mahal. Upaya Papua Nugini untuk bisa menghadirkan pasokan listrik yang andal dan lebih murah dilakukan salah satunya dengan membuka kemitraan dan kerjasama.
“Kami melihat PLN memiliki kompetensi dalam hal ini. Kami menemukan salah satu solusi untuk menjawab persoalan kami yaitu melakukan bisnis dan kemitraan dengan PLN,” kata John Rosso dalam siaran pers PLN.
Transfer daya ini menunjukkan kemajuan infrastruktur Indonesia yang mampu menjadi motor kebaikan dan persahabatan antar dua negara yang bertetangga dan berbagi pulau yang sama.