Euforia.id | Kementerian Kehutanan mengambil langkah cepat untuk memperkuat implementasi kebijakan percepatan penetapan status Hutan Adat. Melalui Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Kemenhut menggelar Pelatihan Peningkatan Kapasitas Calon Verifikator Hutan Adat di Lombok, 6 hingga 10 Oktober 2025.
Langkah ini merupakan tindak lanjut langsung setelah efektifnya Satuan Tugas Percepatan Penetapan Status Hutan Adat berdasarkan SK Menhut 144/2025.
Direktur PKTHA, Julmansyah, menyatakan pelatihan ini adalah upaya kolaboratif Kemenhut bersama Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten/Kota, Dinas Kehutanan, dan Balai Perhutanan Sosial Jawa Bali NTB dan NTT.
Tujuannya agar proses penyiapan syarat penetapan hutan oleh Pemda menjadi lebih berkualitas dan cepat.
”Ketersediaan tenaga Verifikator ini menjadi penting ketika ada peningkatan target luasan penetapan hutan adat selama lima tahun ke depan,” ujar Julmansyah.
Ia menambahkan, langkah ini sekaligus sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat pengakuan hak masyarakat adat.
Peserta pelatihan ini berasal dari wilayah-wilayah dengan potensi penetapan hutan adat yang tinggi, khususnya dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota.
Julmansyah menyebut pelibatan OPD ini krusial karena Permendagri 52 Tahun 2014 mengamanatkan pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) di tingkat daerah.
Panitia inilah yang bertugas melakukan identifikasi, verifikasi, dan validasi usulan MHA.
“Kegiatan serupa akan dilaksanakan sebanyak empat angkatan yang mencakup empat wilayah di Indonesia. Sehingga ke depan, kita akan memiliki banyak stok tenaga Verifikator Hutan Adat yang andal di Indonesia,” terang Julmansyah.
Selain meningkatkan SDM, pelatihan ini juga digunakan untuk mengasah instrumen atau tools verifikasi yang telah disiapkan oleh Direktorat PKTHA. Instrumen ini dikembangkan dengan melibatkan akademisi dan praktisi yang berpengalaman dalam Tim Terpadu Hutan Adat.
Penetapan Hutan Adat sendiri memiliki tujuan mendasar, antara lain: menjamin ruang hidup MHA, melestarikan ekosistem dan lingkungan, melindungi kearifan lokal, dan menjadi salah satu pola kunci dalam penyelesaian konflik tenurial di dalam dan sekitar kawasan hutan.