Jayapura, Euforia.id | Distrik Depapre di Kabupaten Jayapura, dikenal dengan panorama alamnya yang memukau, mulai dari latar Pegunungan Cycloop yang hijau hingga pesisir Teluk Tanah Merah dengan deretan destinasi wisata unggulan yang sudah melegenda, seperti Pantai Amai dan Tablanusu.
Keindahan alam yang memanjakan mata itu, sejatinya menawarkan peluang yang sangat signifikan sebagai motor penggerak utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Jayapura. Namun, realisasi penuh dari potensi ini hanya dapat dicapai asalkan dikelola melalui strategi kebijakan yang terencana, terintegrasi, dan yang paling krusial, berbasis pada kearifan lokal.
Kawasan Depapre telah lama menjadi tujuan rekreasi populer, bahkan sejak dekade 1990-an. Destinasi lawas seperti Pantai Amai di Kampung Tablasupa, yang terkenal dengan perpaduan harmonis antara pasir putih lembut dan muara air jernih yang bersumber langsung dari kaki Pegunungan Cycloop, telah lama menciptakan dan menopang ekosistem ekonomi lokal yang dinamis.
Tak hanya Amai, pesona Distrik Depapre tersebar merata di kampung-kampung sekitarnya. Kampung Tablanusu misalnya, menawarkan keunikan tersendiri dengan hamparan batu koral eksotis yang menghiasi garis pantainya, kontras dengan pasir putih pada umumnya.
Selain itu, ada pula Pantai Harlem, sebuah permata tersembunyi dengan pasir putih bersih yang dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar 15 menit menggunakan speed boat dari Dermaga Depapre.
Penggerak ekonomi warga
Sekretaris Kampung Tablasupa, Abraham Oyaitouw mengakui pantai amai yang sudah lama dibuka sebagai tempat wisata itu menjadi penyangga ekonomi lokal bagi masyarakat setempat.
”Pantai Amai dan daerah pesisir ini menjadi daya tarik utama bagi kampung kami dan terbukti bisa memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat, baik itu melalui berjualan aneka makanan maupun memanfaatkan lahan parkiran,” tutur Oyaitouw.
Ia mengatakan, pantai amai sudah lama dibuka menjadi kawasan wisata sewaktu jalan penghubung ke sana dari Sentani dan Depapre masih belum teraspal.
“Kalau hari-hari libur tempat ini selalu ramai dikunjungi. Walaupun hari biasa juga banyak yang datang untuk foto-foto,” ujarnya.
Aksesibilitas dan biaya yang ditawarkan untuk menikmati keindahan Pantai Amai juga terbilang relatif terjangkau. Tarif yang berlaku mencakup parkir mobil Rp30.000, parkir motor Rp10.000, serta sewa pondok hingga Rp250.000. Tersedia pula homestay atau penginapan dengan tarif mulai dari Rp400.000 per malam.
“Kalau hari libur di sini selalu ramai, orang senang datang tidak hanya untuk mandi, ada yang foto-foto juga,” kata Andoafi Kampung Tablasupa, Marten Serontou.
Di Kampung Tablanusu, selain menjual panorama koral yang unik, beberapa warga kini juga menyewakan rumpon (rakit memancing) yang berlabuh di lautan untuk para penghobi mancing.
”Lebih khusus pariwisata, yang sekarang lagi tren di kampung ini mungkin adalah rakit memancing atau rumpon,” kata Kepala Kampung Tablanusu, Arkileus Danya.
Rumpon ini disewakan seharga Rp800.000 untuk satu hari memancing, dengan peminat yang datang dari Kota Jayapura hingga Arso, Kabupaten Keerom.
Potensi serupa juga terdapat di Kampung Doromena. Ketua Dewan Adat Yewena-Yosu, Johanes Yonas Mentanaway, yakin bahwa jika kawasan wisata di kampungnya digarap dengan baik, akan menjadi sumber penghasilan berkelanjutan.
Ia menunjuk pada perintisan konservasi penyu yang dapat dimanfaatkan melalui wisata edukasi dan penjualan cendera mata. Di Doromena, penyewaan rumpon bahkan mencapai tarif hingga Rp1 juta.
“Di sini ada konservasi penyu yang baru dirintis berapa tahun lalu, ini bisa mendatangkan manfaat bagi warga kampung, selain keindahan pantai. Setiap orang yang datang berkunjung ke sini pasti akan mencari buah tangan untuk dibeli, itu bisa dimanfaatkan untuk dijual supaya memberikan penghasilan bagi warga,” kata Mentanaway.
Peran kearifan lokal
Pengembangan pariwisata Distrik Depapre secara inheren harus terikat dengan kekuatan budaya dan tradisi adat yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat.
Pemerintah Kabupaten Jayapura, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), menyadari bahwa iven budaya seperti Festival Bahari Pesisir Tanah Merah adalah instrumen kebijakan penting untuk melestarikan tradisi adat sekaligus mendorong dampak sosial-ekonomi bagi UMKM.
Namun, aset terkuat Depapre terletak pada pengakuan atas kearifan lokal sebagai fondasi pengelolaan ekowisata. Mathias Luther Suwae, Sekretaris Distrik Depapre, menegaskan bahwa praktik adat yang bersifat konservatif memiliki nilai jual pariwisata yang tinggi.
Ia secara spesifik menyoroti tradisi adat Tiyaitiki atau praktik penyegelan laut (sasi) oleh masyarakat adat di waktu tertentu. Menurutnya, praktik sasi ini merupakan fondasi bagi kelestarian ekosistem.
”Tradisi ini berpotensi menjadi aset pariwisata yang kuat, menarik wisatawan yang mencari pengalaman budaya otentik dan praktik konservasi tradisional,” jelas Suwae.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Elisa Yarusabra, memperkuat pandangan ini dengan menempatkan budaya sebagai daya tarik utama pariwisata saat ini.
”Budaya itu juga menjadi daya tarik wisata. Dulu itu kan hanya destinasi, tapi sekarang juga menonjolkan budaya, kemudian kuliner, baru destinasi,” ujar Yarusabra.
Ia mendukung kearifan lokal yang sudah ada, seperti sasi, dan menyebut potensi pengembangan festival budaya lain seperti Festival Mangga Golek (jika dioptimalkan) serta promosi perahu tradisional dan konservasi penyu di Doromena.
“Banyak ciri khas kebudayaan sesuai kebudayaan mereka. Ini kita akan dorong lewat program-program kami, agar kebudayaan itu dengan pariwisata bisa menjadi satu bagian,” katanya.
Saat ini, Dinas Pariwisata juga sedang bekerja sama dengan Kemenkumham untuk memberikan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) terhadap aset-aset budaya dan kekayaan intelektual lokal.
Sinergi antara upaya konservasi yang baru dirintis, seperti penangkaran penyu, dan praktik sasi yang sudah turun-temurun, memperkuat narasi bahwa pariwisata di Depapre bukanlah semata-mata eksploitasi alam, melainkan sebuah ekowisata budaya yang menjunjung tinggi kelestarian lingkungan dan hak-hak adat.
Untuk mendukung hal ini, pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di tingkat kampung menjadi agenda penting.
“Itu sasaran kami membangun kepariwisataan dari kampung-kampung tetap terkoordinasi dan tetap terstruktur melalui Pokdarwis, begitu,” jelasnya.
Tantangan infrastruktur dan sinkronisasi kebijakan menuju PAD
Keberhasilan mencapai target peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata sangat bergantung pada keseriusan Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam menginventarisasi objek wisata dan memastikan infrastruktur pendukung memadai.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Elisa Yarusabra, mengonfirmasi komitmen Pemerintah Kabupaten dalam menjadikan pariwisata sebagai prioritas utama dan sumber PAD.
”Kami bekerja sesuai dengan visi-misi Bupati, kemudian juga apa yang sudah dituangkan dalam RPJMD. Nah, terkait dengan itu, maka sektor pariwisata itu menjadi bagian yang menjadi prioritas,” tutur Yarusabra.
Ia menjelaskan, sudah ada pemetaan zonasi, di mana untuk wilayah pesisir (mulai dari Demta sampai Yokari) yang dikembangkan hanya sektor pariwisata dan perikanan. Oleh karena itu, destinasi seperti Tablanusu, Pantai Amai, dan Yongsu Spari (Distrik Ravenirara) menjadi prioritas.
”Untuk tindak lanjut di tahun 2026, kami beri prioritas pembangunan atau pengembangan sarana-prasarana pariwisata, khususnya di wilayah pesisir. Kami juga memberikan perhatian kepada pengembangan SDM, sumber daya pariwisata, sumber daya pengelola pariwisata, terutama masyarakat sekitar. Kami beri penguatan kapasitas, pelatihan,” jelasnya.
Fokus ini bertujuan untuk menjadikan pariwisata sebagai primadona utama dalam peningkatan PAD.
“Ke depan kita harap sektor pariwisata ini menjadi primadona, terutama untuk PAD. Pendapatan asli daerah untuk kita genjot, atau kita dorong melalui sektor pariwisata. Nah, itu ada di daerah pesisir,” tegasnya.
Di sisi regulasi, penetapan tarif jasa wisata, mulai dari parkir, sewa pondok, homestay, hingga sewa rumpon, masih bersifat individu di tingkat kampung. Agar sektor ini dapat dihitung secara transparan dan berkontribusi secara optimal sebagai target PAD, dibutuhkan regulasi yang jelas dan standarisasi layanan.
Yarusabra mengakui bahwa kontribusi PAD belum optimal karena ketiadaan regulasi.
“Soal PAD, belum optimal. Belum ada regulasi terkai destinasi. Jadi, kami belum optimal dalam hal ini. Dan kami akan melakukan optimalisasi, tahun depan akan lebih baik lagi dengan regulasi yang ada, begitu,” ujarnya.
Langkah konkret yang sudah dilakukan adalah penyiapan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati, terutama yang berkaitan dengan retribusi. Hal ini penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam kontribusi PAD.
”Kepariwisataan di pesisir itu sudah harus dikelola oleh masyarakat, yang kemudian harus memberikan juga PAD, kita sama-sama harus dorong peningkatan PAD dan Pemerintah serius untuk membangun sektor pariwisata, dan masyarakat harus dapat manfaat dari proses pembangunan itu,” lanjut Yarusabra.
Pemerintah Daerah perlu menjembatani praktik pengelolaan pariwisata berbasis komunitas dengan kerangka regulasi resmi. Mengintegrasikan secara langsung dewan adat dalam pengelolaan, penetapan tarif, dan pelestarian tradisi seperti sasi, akan menjadikan model pariwisata Depapre sebagai selling point ekowisata budaya yang unik dan berkelanjutan.
“Kami tidak bisa membangun kepariwisataan sendiri. Untuk membangun kepariwisataan itu memerlukan kolaborasi dengan berbagai lembaga stakeholder yang ada. Dalam hal ini misalnya HPI, PHRI, Asita Travel Agensi juga dari Angkasapura, kami libatkan. Bupati sangat serius dengan pariwisata. Jadi kami akan libatkan semua agen-agen ini untuk bersama-sama membangun pariwisata di Kabupaten Jayapura,” ungkapnya.
Dengan mentransformasi kekayaan alam dan budaya Depapre menjadi produk wisata yang terkelola dengan baik, Kabupaten Jayapura tidak hanya melestarikan budayanya, tetapi juga memberdayakan pendapatan daerah yang berkelanjutan.











