Jayapura, Euforia.id | Pengamat Kebijakan Publik Papua, Dr. Methodius Kossay menyampaikan kecaman keras atas tindakan pembakaran mahkota burung cenderawasih yang dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Papua.
Menurutnya, tindakan pemusnahan tersebut bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan penghinaan terhadap simbol budaya dan martabat masyarakat adat Papua.
“Pembakaran terhadap mahkota burung cenderawasih, yang merupakan simbol budaya Papua, bukan hanya tindakan melawan hukum, tetapi juga pelecehan terhadap identitas, nilai adat, serta kehormatan masyarakat Papua,” tegas Dr. Kossay.
Dr. Kossay menjelaskan, mahkota cenderawasih berasal dari satwa langka yang dilindungi, tindakan pembakaran itu telah melanggar dua aspek hukum sekaligus, yakni
Hukum Lingkungan: Melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Hukum Budaya: Melanggar norma dan prinsip penghormatan terhadap hak budaya masyarakat adat Papua yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan.
Penghinaan terhadap Simbol Spiritualitas
Lebih dari sekadar objek sitaan, mahkota cenderawasih adalah simbol kehidupan, kehormatan, dan warisan spiritual masyarakat Papua.
Ia menegaskan, pembakaran itu tidak dapat dianggap sebagai prosedur administratif biasa.
Pelecehan terhadap identitas budaya yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat adat Papua.
“Simbol budaya bukan barang bukti yang bisa dimusnahkan begitu saja. Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan menghancurkan,” tambah Dr. Kossay.
Dr. Kossay mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera bertindak. Ia menuntut beberapa hal, yakni investigasi menyeluruh terhadap tindakan BBKSDA Papua, permintaan maaf terbuka kepada masyarakat adat Papua, evaluasi dan revisi SOP pemusnahan barang sitaan yang bernilai budaya tinggi.
Serta pelibatan tokoh adat dan budayawan Papua dalam setiap pengambilan keputusan terkait benda-benda budaya dan lingkungan.
“Kalau rakyat sipil yang melakukannya, pasti ditindak. Jadi jika pelaku adalah lembaga negara, maka pertanggungjawaban harus lebih besar lagi,” tutupnya.










