Menu

Mode Gelap
Tambah 12 medali, Kontingen Papua Tembus Posisi Kelima Peparnas XVII Para-Angkat Berat Papua Raup 3 Keping Medali Hari Ketiga Peparnas XVII Para-atletik Raih 3 Medali Emas Hari Ketiga Peparnas XVII Dukung Pertumbuhan Bisnis Konsumen di Indonesia, Mitsubishi Fuso Hadirkan Promo Shocktober  Para-atletik Papua Raih 10 Keping Medali di Hari Kedua Peparnas XVII Para-renang Papua Dulang 8 Medali di Hari Kedua Peparnas XVII

Sepakbola Masa Lalu

Ritham Madubun, Mutiara Hitam dari Tanah Evav

badge-check


					Ritham Madubun, Mutiara Hitam dari Tanah Evav Perbesar

JAYAPURA – Generasi pertama PPLP (Diklat) Irian Jaya tahun 1986 juga memunculkan salah satu nama bek legendaris dalam persepakbolaan Indonesia. Dialah Ritham Madubun, bek kidal yang dikenang sebagai legenda Persipura Jayapura dan PSM Makassar.

Tak hanya pernah berkarier di dua klub raksasa asal Indonesia Timur itu, Ritham juga sempat merumput bersama Persija Jakarta, Persikota Tangerang dan PSPS Pekanbaru.

Performa enerjiknya di kompetisi Liga Indonesia bahkan mengantarkannya ke jenjang tertinggi, membela panji Garuda, tim nasional Indonesia.

Perjalanan karier seorang Ritham Madubun tak jauh berbeda dengan kebanyakan pesepakbola yang lain. Ia mengawali petualangannya dari bawah, sebelum menjadi pemain besar.

Takdir yang berandil membawanya ke Tanah Papua dan merintis sejarah panjangnya sebagai seorang pesepakbola, seorang Mutiara Hitam dari Tanah Evav (Kepulauan Kei).

Hijrah ke Papua Ikut Orang Tua

Ritham lahir di Tual, Kepulauan Kei, Maluku Utara, 1 April 1971. Dalam benaknya dulu, mungkin tak ada angan-angan untuk menjalani hidup sebagai pesepakbola di negeri nun jauh di Timur Indonesia, Papua.

Namun semua berawal saat ayahnya dipindahkan tugas sebagai Panitera di Pengadilan Negeri Irian Jaya (Papua) tahun 1982 silam. Ritham dan beberapa saudaranya diboyong ke Papua saat itu.

Ritham anak ketiga dari 8 bersaudara. Saudara pertamanya, Rustam Madubun merupakan wartawan senior di Papua. Sementara saudara keempatnya, Ridwan “Bento” Madubun adalah orang yang tak asing di dunia sepak bola Indonesia saat ini, dia menjabat sebagai asisten manajer Persipura.

Ritham muda mengawali karier sepak bolanya dari PPLP (diklat) Papua angkatan pertama, tahun 1986. Ia masuk ke dalam PPLP saat masih duduk di kelas II SMP Negeri I Jayapura. Dia juga nyambi bermain di klub lokal PS Cenderawasih. Dan mulai bergabung dengan Persipura saat masih berusia 16 tahun sekaligus masuk dalam tim PON Irian Jaya pada PON XIII Jakarta, 1993.

Di angkatan pertama PPLP kala itu, Ritham menjadi salah satu anak didik guru besar sepak bola Papua, HB Samsi dan legenda Persipura, Hengky Rumere. Sejarah mencatat, tonggak keemasan Persipura di era kompetisi profesional berawal dari generasi 86 ini, termasuk di dalamnya seorang Ritham Madubun.

“Waktu dia tembus PPLP itu orang tua kami merasa bangga. Sejak dia di PPLP kami sudah tidak membiayai sekolahnya karena ditanggung oleh PPLP saat itu,” kenang Rustam Madubun, Kakak tertua Ritham.

Saat berhasil membawa PPLP Papua menjuarai turnamen antar PPLP se-Indonesia pada 1990, Ritham bersama rekan-rekannya seperti Nando Fairyo, Yohanis Bonay, Chris Leo Yarangga, Carolino Ivakdalam dan beberapa nama lainnya lantas dipercaya untuk memperkuat Persipura di divisi satu (kasta kedua) bersama pelatih Hengky Heipon.

Di kesempatan pertama itu, Ritham dan generasinya gagal mengangkat Persipura kembali naik kasta. Dua tahun setelahnya, Ritham dan sebagian besar generasi 86 dikumpulkan untuk menjalani pemusatan latihan jelang menghadapi PON XIII di Jakarta.

Ritham dan kolega kala itu menjawab kepercayaan tersebut dengan mempersembahkan medali emas. Dan kesuksesan tersebut berlanjut dengan mengantarkan Persipura kembali ke divisi utama, atau kasta tertinggi sepak bola nasional, tepatnya di Desember 1993.

“Orang tua kami saat itu bangga sekali, termasuk saya. Kebetulan saya pernah bertugas sebagai wartawan olahraga di Cenderawasih Pos. Hampir di semua tempat di Jayapura saat itu jika orang cerita sepak bola pasti mereka cerita tentang Ritham, tentang permainannya yang bagus. Apalagi, dia pada saat itu menjadi pemain paling muda di skuat Persipura,” ungkap Rustam.

“Saat bermain di Persipura dia sudah bisa biayai hidupnya sendiri, bahkan ketika pindah dari Persipura ke PSM Makassar, beberapa bulan kemudian dia mampu menaikan haji Ibu kami ke Tanah Suci dengan ONH Plus yang saat itu tercatat sebagai jemaah haji dari embarkasi Makassar,” sambungnya.

Jadi Kapten Persipura

Pasca Persipura tampil di edisi perdana kompetisi profesional Ligina I tahun 1994/1995, kapten tim kala itu, Ferdinando Fairyo memutuskan untuk pensiun dini karena alasan pekerjaan.

Ban kapten pun disematkan pada lengan Ritham di musim kedua Ligina tahun 1995/1996. Ritham menjadi pemain migran (non kelahiran Papua) pertama yang menyandang kapten di tim Mutiara Hitam. Saat itu, Persipura dilatih oleh pelatih legendaris asal Sumatera Utara, Tumpak Sihite.

Pemilihan Ritham sebagai kapten kala itu bukan tanpa alasan. Ia dinilai sebagai pemain yang konsisten dan cakap saat bermain.

“Pada saat itu, tidak ada julukan khas untuk dia, tetapi di kalangan internal mereka menyebutnya seperti Roberto Carlos, karena mainnya mirip. Tetapi julukan di masyarakat tidak ada. Dia main selalu dapat nomor punggung 3,” kenang Rustam.

Di eranya sebagai kapten tim, Persipura memang tak dibawanya sebagai juara. Namun Ritham dan kolega kala itu sanggup mengantarkan Persipura ke babak semifinal Ligina II dan babak 12 besar Ligina III tanpa diperkuat oleh pemain asing. Itu menjadi pencapaian tertinggi Persipura di kompetisi sepak bola profesional, pasca perserikatan dan galatama.

Berkat penampilan apiknya bersama Persipura, Ritham pun diboyong ke timnas Indonesia. Ia bersama rekannya, Ronny Wabia, masuk dalam skuat timnas Indonesia di Piala Asia 1996.

“Kita sekeluarga bangga dan senang, karena saat itu tidak banyak orang pendatang (migran) yang mampu bersaing dalam sepak bola, kita tahu sendiri bahwa bakat anak-anak Papua dalam sepak bola itu luar biasa, jadi kalau ada pendatang yang bisa bersaing pasti ada kebanggaan tersendiri, waktu itu di Persipura ada Ritham dan Ronny Syaranamual (almarhum juga),” ujar Bento.

Ritham bertahan dan menjadi kapten tim Persipura selama dua musim hingga tahun 1997. Setelah sembilan tahun mengabdikan hidupnya untuk Persipura, Ritham lantas memutuskan hengkang ke PSM Makassar pada Ligina IV. Saat itu, tak hanya suporter, orang tua Ritham juga kecewa saat ia memutuskan pindah ke PSM Makassar.

“Waktu Ritham mau ke PSM itu sebenarnya Bapak saya tidak setuju, tapi entah kenapa tiba-tiba Ritham akhirnya memilih hengkang,” kenang Bento.

Di PSM, Ritham bertahan selama dua musim (1997-1999), hingga akhirnya ia berpindah-pindah ke sejumlah klub mulai dari Persikota Tangerang, Persija Jakarta, Pelita Jaya, PSPS Pekanbaru, Persma Manado, dan Persitara Jakarta Utara.

Setelahnya, Ritham mengakhiri petulangannya di Tanah kelahirannya, Tual. Ritham memutuskan pulang karena menderita stroke. Kondisinya sempat membaik setelah menjalani pengobatan tradisional, ia memutuskan menjadi pelatih di klub PS Malra di divisi II Liga Indonesia.

“Saat jadi pelatih, klubnya sempat bermain melawan Perseman Manokwari yang kebetulan asisten pelatihnya saat itu Ronny Wabia (teman seangkatan Ritham di Persipura),” kata Rustam.

Pada 1 Agustus 2013, takdir pula yang membawanya pulang lebih cepat menghadap yang Kuasa. Ritham menghembuskan napas terakhir di kampung halamannya dalam usia 42 tahun, bersamaan dengan Persipura yang meraih gelar juara keempat Liga Indonesia.

Ritham meninggalkan 4 orang anak. Dan meninggalkan romansa indah selama memulai petualangannya dari PPLP Papua angkatan pertama hingga era baru Persipura di kompetisi profesional. (Djaps)

Artikel ini sudah pernah ditulis oleh penulis kami di Indosport.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Ketika Persipura Nyaris Terdegradasi di Era Ligina V

1 Oktober 2024 - 23:25 WIB

Helconi Hermain, Si Laba-Laba Kecil di Tim Mutiara Hitam

26 Juli 2024 - 14:08 WIB

Trending di Sepakbola Masa Lalu