Jayapura, Euforia.id | Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) ilegal di Indonesia dilaporkan menimbulkan kerugian negara mencapai 1 miliar dolar (sekitar Rp 15,6 triliun) per tahun.
Di Papua, praktik terlarang ini tidak hanya menggerus kekayaan hayati, tetapi juga mengancam nilai-nilai budaya purba dan kestabilan ekosistem kawasan konservasi.
Kompleksitas masalah ini diulas dalam diskusi di Kota Jayapura, Senin (13/10/2025) yang melibatkan masyarakat adat, lembaga konservasi (BBKSDA), dan penegak hukum, yang sepakat bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci mengatasi ancaman di pusat megabiodiversitas dunia ini.
Dari sudut pandang adat, satwa endemik Papua memiliki nilai sakral yang terancam oleh motif ekonomi. Jefri Wonda, Peneliti Ekidna dari Yayasan Papua Nenda (Yapenda), menegaskan TSL adalah bagian integral dari identitas budaya, bukan sekadar kekayaan alam.
Ia mencontohkan Ekidna (Payangko), satwa yang sempat hilang 60 tahun. Di masyarakat Yongsu, Payangko dipercaya sebagai pembawa perdamaian, dicari untuk mendamaikan perang saudara.
Satwa lain, Burung Cenderawasih juga dianggap sakral dalam cerita rakyat.
Selain nilai budaya, satwa seperti Kasuari juga memiliki fungsi ekologis penting sebagai penyebar biji untuk menjaga kestabilan hutan.
Menurut Wonda, meski kearifan lokal seperti sistem Sasi atau Eken (larangan mengambil hasil alam sementara) telah melindungi alam, sistem ini kini menghadapi ancaman dari pembangunan skala besar, pergeseran gaya hidup generasi muda, dan kebijakan pusat yang tidak selaras dengan nilai adat.
Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso Silaban, menyoroti tantangan sumber daya yang tidak seimbang dalam menjaga kawasan konservasi.
Papua, sebagai pusat megabiodiversitas, memiliki lebih dari 303 jenis satwa dan 12 jenis tumbuhan yang dilindungi.
“BBKSDA Papua harus mengelola 4,9 juta hektar kawasan konservasi yang tersebar di empat provinsi, dengan rasio pengawasan mencapai 30.000 hektar per orang,” katanya.
Motif ekonomi menjadi pendorong utama perburuan, dengan permintaan datang dari internal Papua, domestik, hingga luar negeri.
Jhoni mengungkapkan modus penyelundupan yang semakin licik, termasuk praktik tersembunyi seperti “Buah Semangka Berisi Burung,” di mana satwa disembunyikan di dalam semangka yang dilubangi.
Sebagai solusi, BBKSDA mendorong masyarakat untuk beralih dari perburuan ke aktivitas birdwatching (pengamatan burung), yang dinilai memberikan pendapatan berkelanjutan karena melestarikan spesies Cenderawasih justru menarik wisatawan.