Jayapura, Euforia.id | Keheningan di sebuah rumah kosong di Kota Jayapura itu menyimpan rahasia gelap. Lima bulan lalu, Mawar (nama asli disamarkan) seorang gadis muda yang dikenal ceria, meregang nyawa di sana. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit namun terlambat diselamatkan.
Bagi Kinda (bukan nama asli), kakak kandung Mawar, kematian adiknya itu adalah pukulan telak yang baru terjelaskan belakangan.
Kinda mulai curiga setelah mendapati semua akun media sosial Mawar ditutup. Ponsel adiknya dipenuhi pesan teks masuk yang bernada ancaman. Satu per satu, jawaban terungkap, Mawar terjebak pinjaman online (Pinjol) ilegal.
”Dia tidak pernah cerita punya utang. Dan kami keluarga sama sekali tidak tahu. Tapi kami melihat SMS masuk di handphone-nya penuh dengan ancaman. Banyak nomor-nomor tidak dikenal juga mengontaknya,” cerita Kinda kepada Euforia.
Mata Kinda memandang kosong ke arah laut yang hanya berjarak sepelemparan batu di depan rumahnya. Sedih, malu, dan takut seolah bercampur aduk, membuatnya tak sanggup lagi melanjutkan cerita.
Ironisnya, berdasarkan penuturan kerabat Mawar, Natan, Mawar sempat bercerita jika dirinya beberapa kali ditransfer uang oleh orang tak dikenal. Namun ia tak menyebutkan nominalnya. Natan menuturkan, Mawar sempat meminjam uang untuk membayar utang yang sebenarnya tidak ia pinjam itu.
Natan menduga uang tersebut merupakan jebakan dari pinjol ilegal dengan modus mentransfer uang ke rekening seseorang yang tidak dikenal, lalu akan ditagih dan diancam untuk mengganti uang tersebut berkali-kali lipat.
“Saya curiga uang itu modus pinjol ilegal. Saya banyak baca di berita dan di media sosial, modus seperti itu sering dialami oleh banyak orang. Saya tidak sempat cari tahu waktu itu karena saya cuma pikir membantu saja karena dia butuh pinjaman,” kata Natan.
Kematian Mawar berselimut teka-teki. Ancaman teror digital dari orang-orang tak bertanggung jawab di ponselnya dan tekanan yang menggerogoti mentalnya telah menjerumuskannya ke jalan pintas yang tak sepantasnya harus ia alami.
Merusak Mental
Ancaman pinjol, baik legal maupun ilegal, kini secara nyata merusak mental dan finansial masyarakat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, mayoritas pengguna pinjaman daring di Indonesia, termasuk di ibu kota Provinsi Papua, didominasi oleh Generasi Z dan Milenial (usia 19-34 tahun).
Kelompok usia ini menjadi yang paling rentan terhadap jerat utang, termasuk korban jebakan modus transfer acak dari pinjol ilegal.
Situasi di Kota Jayapura kian sulit karena literasi keuangan yang masih di bawah rata-rata nasional. Kemudahan akses internet dimanfaatkan oleh pinjol ilegal untuk menjaring korban yang membutuhkan uang cepat namun minim pemahaman risiko.
Salah satu korban adalah Janur (31), seorang karyawan swasta di Jayapura. Ia mengalami teror setelah mendapati saldo rekeningnya bertambah secara misterius senilai sekitar Rp500 ribu dari pengirim tak jelas.
Sebulan kemudian, Janur kaget menerima teror dan ancaman bertubi-tubi melalui SMS, WhatsApp, dan telepon dari nomor berbeda, yang memaksanya melunasi utang atas transfer tersebut.
“Saya bingung dan kaget, awalnya saya dapat transferan yang saya tidak tahu siapa pengirimnya. Bulan depannya tiba-tiba ada yang menelepon, memaksa saya membayar utang dan mengancam akan sebarkan foto editan saya yang tidak senonoh ke teman-teman saya, bahkan ke keluarga. Saya takut sekali,” ujar Janur.
Rasa malu dan takut sempat membuatnya berpikir pendek, namun ia mengurungkan niat tersebut setelah mencari informasi di internet. Ia lantas mengikuti saran dengan mengganti nomor kontak.
“Rasa malu itu yang paling berat. Setelah saya ganti nomor kontak, sampai sekarang tidak ada lagi yang menelepon dan mengancam saya. Bahkan tidak ada juga yang mendatangi tempat tinggal saya,” tuturnya.
Kisah berbeda dialami oleh Suharso Mirun (46), seorang pedagang yang baru saja merantau ke Jayapura. Ia terjerat utang setelah meminjam Rp 1,5 juta untuk modal usaha dari aplikasi pinjol ilegal.
Utangnya membengkak cepat hingga lebih dari Rp 7 juta akibat bunga mencekik. Ketika gagal bayar, debt collector pinjol ilegal mulai menghubungi kontak di ponselnya, menyebar fitnah, dan merusak reputasi keuangannya.
“Setiap hari telepon berdering. Bukan lagi menagih, tapi mengancam. Istri saya sampai ketakutan. Usaha saya juga ikut terganggu karena kegelisahan yang saya rasakan,” kenang Suharso.
Ia bahkan mendapati namanya masuk daftar hitam layanan informasi keuangan resmi, membuatnya sulit mendapat kredit bank.
Atas saran kerabat, Suharso memberanikan diri melapor ke OJK dengan mengumpulkan semua bukti teror dan tangkapan layar percakapan. Laporan Suharso ditindaklanjuti oleh OJK berkoordinasi dengan Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti).
Setelah melalui proses yang menguras waktu, ancaman berhenti total, dan datanya pulih secara bertahap dari daftar hitam yang disebabkan oleh pinjol ilegal tersebut.
“Setelah nama saya bersih, saya bisa bernapas lega. Ini jadi pelajaran buat saya. Saya beranikan diri untuk melapor ke OJK karena sudah bingung mau minta pertolongan ke siapa,” tutup Suharso.
Satgas Pasti dan Edukasi
OJK Papua menyoroti peningkatan kasus pinjol ilegal, dengan korban mayoritas berasal dari kalangan muda. Sepanjang tahun 2024, OJK menerima 60 pengaduan terkait pinjaman ilegal di wilayah tersebut.
Kepala OJK Papua, Fatwa Aulia, mengungkapkan dominasi korban dari kelompok usia produktif ini menjadi perhatian serius. Untuk menanggulangi ancaman ini, OJK telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti).
”Saya meminta masyarakat untuk tidak mudah terjebak dalam pinjaman online,” kata Aulia di Jayapura.
Aulia menjelaskan, pencegahan pinjol ilegal dan penawaran investasi bodong menjadi fokus utama OJK. Program edukasi keuangan secara aktif menyasar mahasiswa, pelajar SMA, hingga Aparatur Sipil Negara (ASN).
OJK berharap kelompok ini dapat menjadi duta untuk menyebarkan informasi penting mengenai bahaya pinjaman ilegal.
Fatwa Aulia juga berpesan agar masyarakat tidak tergiur dengan iming-iming dana cepat dari entitas yang tidak jelas legalitasnya, serta meminta masyarakat untuk menjaga kerahasiaan data pribadi.
“OJK mendorong lembaga keuangan resmi untuk hadir dan memberikan kemudahan, sehingga masyarakat setempat punya pilihan yang aman dalam mengakses jasa keuangan,” sebutnya.
Kepala Bagian Pengawasan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Perlindungan Konsumen, dan Layanan Manajemen Strategis Kantor OJK Papua, Victorinus Donny Vika Permana, turut mengajak masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap pinjaman daring ilegal dan praktik judi online.
Victorinus memperkenalkan istilah baru “Pindar” (Pinjaman Daring) sebagai upaya OJK membangun citra positif terhadap layanan pinjaman online yang legal dan diawasi. Istilah “pinjol” diarahkan untuk merujuk pada praktik ilegal, sementara “pindar” merujuk pada pinjaman yang berizin OJK.
Respons dan Penindakan
Victorinus menjelaskan, Satgas Pasti yang melibatkan 15 kementerian dan lembaga terus melakukan penindakan tegas. Sejak tahun 2017 hingga September 2024, Satgas Pasti telah menutup 11.389 entitas keuangan ilegal. Hingga Juli 2025, jumlah penyelenggara pinjaman daring legal yang berizin dan diawasi OJK tercatat sebanyak 96 entitas.
Untuk memperkuat perlindungan konsumen, Satgas Pasti meluncurkan Indonesia Anti-Scam Center (IASC) pada November 2024. IASC adalah forum koordinasi dengan pelaku industri jasa keuangan untuk penanganan kasus penipuan (scam).
Hingga 13 Januari 2025, IASC telah menangani 24.675 aduan penipuan keuangan, berhasil menyelamatkan dana masyarakat sebesar Rp88,3 miliar, dan memblokir 10.628 rekening terkait penipuan.
Masyarakat yang menjadi korban penipuan keuangan didorong untuk melapor melalui situs resmi http://iasc.ojk.go.id, layanan kontak 157, atau email iasc@ojk.go.id dengan menyertakan bukti pendukung.
“Rendahnya pemahaman masyarakat sebagai salah satu penyebab utama maraknya modus pinjol ilegal. Oleh karena itu, OJK mengedepankan prinsip 2L, yakni Legal dan Logis sebagai tips bagi masyarakat dalam memilih produk jasa keuangan,” sebutnya.
Victorinus juga menekankan, aplikasi pinjaman daring yang legal hanya boleh meminta akses terbatas, yaitu Kamera, Mikrofon, dan Lokasi (CAMILAN). Jika aplikasi meminta akses data di luar ketiga hal tersebut, masyarakat patut mencurigainya sebagai pinjaman ilegal.
Sejak didirikan, OJK terus beradaptasi menghadapi modus kejahatan keuangan yang semakin kompleks seiring kemajuan teknologi. Lonjakan kasus Pinjol Ilegal, yang puncaknya terjadi pasca-pandemi, menuntut OJK untuk tidak hanya mengatur, tetapi juga bertindak cepat dan tegas.
Tindakan proaktif yang dilakukan OJK, mulai dari menutup entitas ilegal hingga membentuk mekanisme aduan yang terpadu, menunjukkan komitmen lembaga dalam mewujudkan stabilitas sektor keuangan yang aman bagi masyarakat, sejalan dengan mandat perlindungan konsumen yang diembannya selam lebih dari satu dekade.

















